Kamis, 28 Oktober 2010

Sugeng Tindak Mbah Maridjan...

Jusuf Kalla bilang Pak Marijan layak diteladani. Sultan berkata, "Tidak ada jeleknya kita mengacu pada orang kecil seperti Mbah Marijan."
“Selamat tinggal, aku mungkin tak akan selalu datang ketempat ini. Jagalah diri kalian baik-baik. Restuilah anakmu ini.”
“Kakakku Kawah dan Adikku Ari-Ari, dampingilah setiap langkahku dan aku akan berikan kisah itu untuk kita dan orangtua kita.

Katone langit mendung,
Diri karundung,
Ati tansah landung,
Rahina ora wurung
Bakalan aku mukti, gumantung apa sing tak rupti.
Katone surya rena,
Padhang mesthi ana,
Nyenyawang tansah bisa,
Sumurup bangun karya
Bakalan aku mukti, gumantung apa sing tak rupti.


Cyperus @Gorolangu, June 23, 2009.
Mbah Maridjan lahir tahun 1927 di Dukuh Kinahrejo, Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan,
Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Dia mempunyai seorang istri bernama Ponirah (73), 10 orang anak (lima di antaranya telah meninggal), 11 cucu, dan 6 orang cicit.

  Pada tahun 1970 Mbah Maridjan diangkat menjadi abdi dalem Keraton Kesultanan Yogyakarta dan oleh Sultan Hamengku Buwono IX diberi nama baru, yaitu Mas Penewu Suraksohargo. Pada saat itu, sebagai abdi dalem, Mbah Maridjan diberi jabatan sebagai wakil juru kunci dengan pangkat Mantri Juru Kunci, mendampingi ayahnya yang menjabat sebagai juru kunci Gunung Merapi.

  Mbah Maridjan wafat dalam kesetiaan sebagai abdi dalem yang ditugasi menjaga Gunung Merapi. Jenasahnya ditemukan dalam posisi bersujud setelah letusan Merapi menerjang rumahnya di Kinahrejo, Selasa petang (26/10/2010).